Terbit Dua Alas Hak, Tanah Prapanca 29 Siapa Punya ?

oleh -
oleh

Surabaya, ArahJatim.com – Kasus dugaan pemalsuan yang menyeret pengurus sekaligus pendiri Koperasi Pesantren Assyadziliyah, Zainal Adym saat ini terus bergulir. Kedua belah pihak, antara pelapor dan terlapor saling mengklaim pembenaran yang dilakukan atas utang piutang yang terjadi pada 17 Juli 1996 silam.

Dalam surat perjanjian hutang pemakaian dana koperasi pesantren (kopontren) itu tertera pemakaian dana sebesar Rp 648.000.000. Dana itu akan digunakan oleh Soebiantoro selama satu tahun sampai 17 Juli 1997.

Surat perjanjian itu juga diterangkan jika Soebiantoro tak bisa mengembalikan dana kopontren, maka pihak yang menerima hutang menjaminkan sertifikat hak guna bangunan no 221 kepada pihak kopontren, itu beserta tanah dan bangunannya. Surat itu ditandatangani oleh Zainal Adym dan juga Soebiantoro.

arahjatim new community
arahjatim new community

Tim penasihat hukum terdakwa, Rudolf Ferdinand Purba Siboro, Yakob Tandi Lolo, dan Adner Parlindungan mengatakan kasus ini sebenarnya sudah sangat lama. Jika pun ingin diperkarakan, maka jelas kasus sudah kadalwarsa karena sudah lebih dari 12 tahun.

“Alasan pelaporan ini karena pelapor merasa Soebiantoro sudah meninggal pada 1989 lalu, sementara dalam surat perjanjian hutang tertera tahun 1996,” kata Rudolf, Jumat (19/8).

Namun, kata Rudolf, meninggalnya Soebiantoro yang dikatakan saksi pelapor Bambang Sumiiantoro saat persidangan itu janggal, itu dikatakannya berdasarkan surat izin untuk menempati tanah yang dikuasai negara, tertera jika Soebiantoro memperpanjang hak guna bangunan pada 7 Desember 1995.

“Memperpanjang surat itu kan harus orangnya langsung. Kalau begitu Soebiantoro kan masih hidup, tidak meninggal di tahun 1989,” ujarnya.

Rudolf menambahkan, perkara ini nama Soebiantoro mengindikasikan perbedaan orang. Soebiantoro versi JPU mendapatkan tanah dan bangunan di Jalan Prapanca nomer 29 dari hak guna bangunan menjadi sertifikat hak milik berdasarkan SK Gubernur.

“Tetapi Soebiantoro versi kami yang berhutang kepada koperasi, itu masih hak guna bangunan dan mendapatkannya dari Pemkot,” bebernya.

Berdasarkan surat data kepenghunian atas rumah Jalan Prapanca nomer 29 Dinas Perumahan Daerah Kota Surabaya, kata Rudolf, nama Bambang Sumiiantoro yang mengaku sebagai ahli waris tidak tercantum.

Pun dengan bukti yang menyatakan jika Soebiantoro meninggal di Jember, di Desa Kemuning Lor, Kecamatan Panti, Rudolf mengatakan itu tidak ada. Setelah mendatangi perangkat desa setempat, nama Soebiantoro tak pernah tercatat di Desa Kemuning Lor.

“Bahwa yang meninggal pada 22 Januari 1989 adalah Haji Salam. Dan saudara pelapor bukanlah keluarga dari Haji Salam,” jelasnya.

Munculnya alas hak yang dimiliki pelapor, Rudolf mengatakan itu aneh. Karena dengan alasan HGB nomer 221 hilang. Namun berganti nomer menjadi HGB nomer 50. Kemudian dimunculkan SHM nomer 290.

“Ternyata HGB 221 ada di tangan kami. Katanya hilang, tapi ini ko ada. Yang lucu lagi HGB-nya dia dan HGB kami bentuknya berbeda ternyata, padahal objek sama. Dan kalau hilang kan harus muncul nomer yang sama,” paparnya.

“Sampai sekarang belum ada pernyataan dari BPN jika punya kami palsu,” katanya.

Senada dengan itu, tim penasihat hukum, Adner Parlindungan mengatakan, terkait nama Soebiantoro sendiri berbeda antara versi jaksa dan versi kliennya. Perbedaanya di penulisan Soebiantoro yang mana itu sama dengan nama yang ada di dalam HGB yang dijadikan jaminan kepada kopontren.

“Versi mereka itu tidak ada kejelasan mengenai nama. Ada disebut Haji Bambang Subijantoro, Haji Subiyantoro, kemudian ada Soebiantoro. Nah dalam nama yang disebut dalam alas hak itu Haji Soebijantoro. Kemudian dari mereka menyesuaikan, muncul akta kematian yang sesuai dengan nama kami.,” ungkapnya.

Sementara itu, penasihat hukum pelapor, Ferry Widargo, Ronald Talaway mengatakan jika kliennya telah membeli tanah dan rumah di Jalan Prapanca itu dari tetangganya bernama Soebiantoro.

“Pertama klien saya itu beli pada tetangganya Soebiantoro di Prapanca. Terus ada anaknya Bambang. Mereka ini saling mengenal telah lama. Ga mungkin salah orang kan,” jelasnya.

Menyinggung mengenai hilangnya sertifikat, Ronald menyebut jika itu sudah dilaporkan hilang sekitar tahun 70 an. “Setelah dinyatakan hilang kita minta pengganti. Di pengadilan sudah di jelaskan BPN. Jangan mengeluarkan statmen lagi, tapi buktikan,” ungkapnya.

Pun dengan retiribusi perpanjangan HGB pada tahun 1995, dirinya mengatakan hal itu bisa diwakilkan, lantaran itu hanya atas nama.

“Retirubusi itu kan atas nama. Walaupun telah dimiliki orang lain seperti rumah saya masih nama ayah saya,” kata Ronald.

Ronal bahkan menduga Sertifikat yang dipegang oleh Terdakwa Zainal Adym ada kepalsuan. Dasarnya menurutnya Sertifikat tersebut sudah diterangkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dilaporkan hilang di tahun 1970-an.

“Di Pengadilan sudah di jelaskan BPN. Jangan mengeluarkan statemen lagi, tapi buktikan,” sentilnya.

Disinggung soal nama Bambang Sumi di surat Dinas Perumahan Daerah Kota Surabaya tidak muncul sebagai keluarga R. Soebiantoro yang menghuni rumah di Jalan Prapanca Nomor 29 Surabaya, Ronald justru heran kenapa di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Penyelidikan tidak keluar.

Kemudian Ronald menuturkan ternyata Ponpes Assyadziliyah merasa tidak pernah memilik Kopontren yang dikelola oleh Terdakwa Zainal Adym. Dia balik bertanya Kopontren Assyadziliyah di tahun 1996 bisa meminjamkan uang segitu banyaknya kepada Soebiantoro.

“Buktikan aliran dananya. Ponpes sudah mengakui jika tidak mungkin bisa minjami duit segitu,” serunya.

Logikanya kata Ronald, kalau urusan pinjam meminjam uang paling tidak pihak yang memberikan pinjaman mempunyai data KTP milik pihak yang meminjam uang. Dia memastikan Terdakwa Zainal Adym tidak bisa menunjukkan data KTP milik Soebiantoro yang diklaim berhutang kepadanya.

“Namanya orang buat perjanjian hutang piutang, agunan bukan hanya sertifikatnya saja. Melainkan, harus ada KTP pihak yang berhutang,” pungkasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.