Tambang Ilegal di Tasikmalaya, Siapa Diuntungkan?

oleh -
oleh
Malika Dwi Ana

Kabupaten Tasikmalaya, salah satu daerah tingkat dua yang terletak di kawasan tenggara Priangan. Memiliki luas wilayah 2.563,35 km2, Kabupaten Tasikmalaya termasuk salah satu kabupaten cukup besar di Jawa Barat. Didominasi area berkontur perbukitan hijau, daerah ini dianugerahi tanah yang relatif subur dan ketersediaan sumber daya air yang sangat melimpah.

Selain potensi kesuburan tanahnya, Kabupaten Tasikmalaya ternyata juga memiliki potensi sumber daya mineral. Data dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya menyebutkan ada 35 bahan tambang logam dan bukan logam yang tersebar di Kabupaten Tasikmalaya. Bahan tambang logam, di antaranya besi, emas, emas putih, mangaan Bahan tambang nonlogam di antaranya zeolite, bentonit, feldspar, andesit, fosfat, tras, marmer, batu gamping, dolomite, gypsum, batu apung, pasir, belerang, dan masih banyak lagi.

Namun bisa dikatakan, sebagian besar, misal enggan mengatakan lebih dari 80%, pelaku usahanya tidak memiliki izin usaha tambang sama sekali. Dan ini sudah berlangsung lama selama berpuluh tahun. Artinya, penambang ilegal ini menjarah dan merugikan puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun dan terus dibiarkan sepanjang tidak ada keributan dan konflik besar yang terjadi di tengah lingkungan masyarakat setempat. 

arahjatim new community
arahjatim new community

Mengapa penambangan ilegal ini marak berlangsung bahkan hingga puluhan tahun? Apakah Pemda Kabupaten Tasikmalaya maupun aparat keamanan tidak mengetahuinya? Sangat tahu. Apa buktinya? Bukan hanya potensi tambang yang sudah didata oleh pemda setempat, tapi Pemkab Tasikmalaya bahkan berencana membangun kawasan pertambangan terpadu di wilayah selatan.

Rencana membangun megaproyek tersebut terungkap setelah Bupati Tasikmalaya kala itu Uu Ruzhanul Ulum mempresentasikan potensi pertambangan di hadapan para investor asing di Bali 2014 silam di mana investor China, Hongkong dan Jepang menyatakan ketertarikannya. 

Jika pemda setempat tahu, lalu kenapa penambangan ilegal lokal bisa jadi tetap dibiarkan? Hal ini karena ditengarai tambang-tambang ilegal ini telah menjadi mesin ATM aparat fungsional setempat, atau bahkan bisa jadi aparat pun menjadi pemodal atau pem-backup kegiatan tersebut.

Upaya penertiban yang dilakukan pemerintah Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan aparat keamanan misalnya, nampak hanya sekedar basa basi. Kejahatan lingkungan dan operasi ilegal tambang yang terjadi di Kabupaten Taikmalaya di berlakukan tak ubahnya seperti praktik “tilang lalu lintas”. Bayar sejumlah tertentu yang diminta oknum aparat saat razia, yang entah masuk kas negara atau tidak, kemudian operasi penambangan bisa berlangsung kembali seperti sedia kala.

Yang pasti tetap saja izin penambangan resmi pada akhirnya terlupakan begitu saja. Alasan melakukan pembinaan jauh lebih baik ketimbang melakukan pembinasaan sebagai dasar upaya persuasif sebelum penegakan hukum besi aturan ditengarai sekadar alasan pembenar tanpa upaya lebih jauh.

Bagaimana bisa dikatakan pembinaan, jika kemudian setelah petugas meninggalkan lokasi maka seminggu atau maksimal sebulan kemudian penambangan dan proses pengolahan bahan tambang kembali berjalan normal seolah tidak pernah ditertibkan?

Salah satu contoh misalnya pengolahan produksi penambangan zeolite skala menengah di Dusun Cikancra, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya yang sudah beroperasi lebih dari 10 tahun terakhir dengan kapasitas produksi penggilingan zeolite mencapai 10 ton per hari. 

Dari sumber valid yang penulis dapatkan, tercatat sudah dilakukan dua kali operasi penertiban produksi dan penambangan oleh apparat, yaitu pada tahun 2018 dan akhir tahun 2021. Namun ternyata kegiatan ilegal tersebut masih bisa beroperasi hingga akhir April 2023 lalu. Padahal tidak ada izin penambangan, tidak punya izin angkut barang tambang dan izin operasi produksi pengolahan zeolite.

Namun faktanya tetap bisa melakukan penjualan hasil produksi olahan bahkan dengan merek yang jelas. Pembinaan macam apa yang dimaksudkan, jika tertangkap lalu bayar sejumlah tertentu dan kemudian bebas beroperasi kembali? Artinya upaya pembinaan dalam bentuk memberikan kesadaran hukum untuk mengurus izin resmi sudah gagal sama sekali.

Pengusaha yang demikian seharusnya bukan lagi dibina tapi “dibinasakan” sama sekali tanpa ampun. Alat-alat produksinya harus dibongkar sehingga tidak bisa berproduksi kembali. Bukan hanya diberi garis kuning polisi yang bisa dibuka saat sudah “aman”. Namun bagaimana mau dibinasakan jika beberapa oknum aparat berkepentingan menjadikannya sebagai ATM berjalan? Apakah tindakan penegakan hukum (hanya akan) dilakukan jika pengusaha tambang ilegal telat bayar atau tidak melakukan setoran kepada oknum tertentu? 

Di sisi lain dengan tidak adanya izin resmi baik izin tambang yang diperbaharu, maupun izin operasi produksi yang bisa diperbaharui 5 tahun sekali, maka negara jelas telah dirugikan. Selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak ada pemasukan pajak sama sekali dan kerugian berupa potensi kerusakan lingkungan yang masif sebagai dampak dari pertambangan dan operasi produksi. 

Kasus-kasus tambang ilegal seperti ini tersebar di berbagai tempat di Tasikmalaya. Kasus terbaru terungkap awal April 2023 lalu, ketika aparat gabungan dari unsur TNI, Polri, dan Perhutani Kabupaten Tasikmalaya menertibkan 200 tambang emas ilegal di Desa Karangjaya dan 300 tambang emas ilegal di Palasari, Kecamatan Karangjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu (3/4).

Di lokasi yang masih termasuk lahan Perhutani tersebut, aparat menemukan banyak lubang bekas galian tambang emas ilegal. Pertanyaannya kemudian, siapa yang bisa menjamin bahwa setelah operasi gabungan ini tambang-tambang emas ilegal tersebut tidak akan marak kembali dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama? (mda)

Penulis: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

No More Posts Available.

No more pages to load.