Warga Singorujuh Lestarikan Makanan Tradisional Lewat Pasar Wit-Witan

oleh -
oleh
https://live.staticflickr.com/65535/48814031093_d34ff55e06_b.jpg
Aneka makanan tradisional yang sudah jarang ditemui di pasaran, seperti Geseng Methok, Rawon Alas, Sego Cawuk dan lain-lain dijajakan para pedagang di Pasar Wit-Witan di Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, setiap hari Minggu pagi. (Foto: arahjatim.com/ful)

Banyuwangi, ArahJatim.com – Untuk melestarikan makanan tradisional yang sudah jarang ditemui di pasaran, Pemerintah Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi menggelar Pasar Wit-Witan setiap hari Minggu pagi. Selain makanan langka, para penjaja makanan juga diwajibkan mengenakan busana adat yang berlaku di daerah Banyuwangi, yaitu busana masyarakat Using.

“Ini memang ketentuan yang sudah disepakati oleh panitia, yaitu ibu-ibu PKK Desa Alasmalang. Bahkan mereka sangat ketat, agar penjual tidak menggunakan tempat atau wadah dari plastik. Makanya bisa dilihat sendiri, untuk minuman menggunakan tempurung kelapa atau potongan bambu sebagai mangkok dan gelas. Cobek dari tanah, dengan alas daun,” ujar Moch. Lutfi, Camat Singojuruh Banyuwangi.

Buka sejak pukul 06.00 WIB dan tutup sebelum jam 09.00 WIB kebanyakan makanan yang dijajakan sudah habis terjual. Menikmati aneka kuliner masa lampau di tempat ini memang beda susananya, karena berada di kawasan hutan kecil yang penuh dengan pepohonan. Selain itu, bangku tempat duduk terbuat dari bambu, sendok yang digunakan juga dari kayu.

arahjatim new community
arahjatim new community

“Selain untuk mengenalkan masakan zaman dulu yang sudah sulit ditemui di pasaran, kami juga kampanye antiplastik. Alhamdulillah mendapat sambutan positif, karena pengunjung tambah banyak dan mereka yang ingin bergabung pun juga tambah banyak. Namun demikian, panitia tetap menyeleksi dengan ketat mulai dari olahan yang ditawarkan, hingga kemasan dan penampilan penjualnya. Dinamakan Pasar Wit-Witan, karena dalam bahasa Using, Wit-Witan artinya adalah pepohonan. Makanya digelar dibawah pohon,” tambah Lutfi.

Abdul Rohman, seorang pengunjung asal Desa Parijatah Kulon mengaku setiap hari Minggu ia bersama keluarga mampir ke Pasar Wit-Witan. Alasannya, selain dekat dengan tempat tinggalnya, suasananya juga sangat nyaman seperti di hutan. Selain itu keluarga sangat menikmati masakan-masakan langka yang jarang ditemui di tempat lain.

Selain menikmati kuliner tempo dulu, para pengunjung juga bisa menikmati segarnya udara pagi di hutan kecil yang penuh dengan pepohonan ini. (Foto: arahjatim.com/ful)

“Geseng Methok, Rawon Alas, Sego Cawuk adalah makanan yang disuka keluarga saya. Selain minumnya dawet cendol, dengan mangkok dari tempurung kelapa dan sendok kayu. Banyak antre tadi, orang-orang dari luar Banyuwangi. Mereka datang ke Pasar Wit-Witan setelah melihat gambar-gambar di media sosial yang diposting pengunjung lain,” kata Rohman.

Mamet seorang aktivis kuliner yang berjualan Rawon Alas mengaku sangat senang dengan adanya Pasar Wit-Witan. Selain bisa menyalurkan hobinya memasak, ia juga tertantang untuk menggali potensi masalah tempo dulu di sekitar Singojuruh.

“Ada suatu daerah, yaitu Wijenan, Desa Singolatren yang masyarakatnya terkenal gemar memasak dan rasanya khas. Setelah dirunut, ternyata nenek moyangnya adalah mantan dayang juru masak Kedaton Macan Putih, sebuah kerajaan terakhir di Bumi Blambangan. Sampai sekarang keahlian memasak itu terus dipertahankan, sebagian bisa ditemui di Pasar Wit-Witan ini,” ujar Mamet. (ful)

No More Posts Available.

No more pages to load.