Sejumlah Tokoh Menyebut Banyak Penyimpangan dalam UUD Hasil Amandemen

oleh -
oleh
Prof Dr Kaelan, MS, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM). (Foto: arahjatim.com)

Jakarta, ArahJatim.com – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mendapat mandat untuk memberlakukan kembali Undang-undang Dasar 1945 buah dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.

Mandat yang diberikan Penyambung Suara Kedaulatan Rakyat itu, disampaikan dalam Silaturahmi Elemen Masyarakat Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia, Kamis (16/6/2022), dengan tema ‘Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Konstitusi’ di Gedung B DPD RI, Senayan, Jakarta.

Terkait wacana tersebut, berikut ini tanggapan dan komentar sejumlah tokoh yang dimintai pendapatnya seusai acara silaturahmi.

arahjatim new community
arahjatim new community

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Kaelan, MS mengatakan, kita sebagai bangsa diwarisi tanah pertanian dan sumber daya alam yang melimpah, termasuk pertambangan tapi kenapa keadaan kita masih seperti ini. Jauh dari tujuan negara sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Pasti ada masalah dalam hidup bernegara. Fakta bahwa hutang kita cukup fantastis.

“Mari kita mengangkat harkat martabat bangsa. Jangan diulang lagi istilah seperti kemarin, ‘mengekspor pembantu rumah tangga’, karena bangsa kita jadi tidak dihargai di dunia internasional. Ini adalah pekerjaan rumah yang harus kita benahi,” kata Prof Kaelan.

Terkait wacana kaji ulang amandemen yang sudah dilakukan sebanyak empat kali ini, Prof Sofian Efendi memberikan komentarnya, kita harus menyadarkan rakyat bahwa konstitusi yang berlaku saat ini bukan konstitusi yang dirancang untuk Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Menurutnya, hal ini sudah bisa dianggap suatu penipuan dengan menamakan UUD hasil amandemen ini sebagai Undang-Undang Dasar NKRI 1945, karena semangatnya sudah berubah atau berbeda. Dimana semangatnya bukan lagi Indonesia sebagai negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Untuk itu perlu dilaksanakan melalui demokrasi permusyawaratan perwakilan. Tapi hal itu diubah saat amandemen ke-3 dan ke-4 menjadi dipilih langsung oleh rakyat, dan itu yang dinamakan demokrasi mayoritas.

Dalam demokrasi mayoritas, lanjut Prof Sofian, kewenangan atau legitimasi diberikan kepada siapapun yang menang dalam pemilu dengan suara mayoritas. Misalnya, walaupun mayoritas itu unggul 100 suara maka dialah yang diberi kewenangan untuk membentuk pemerintahan.

“Sedangkan demokrasi musyawarah memiliki tujuan bagaimana agar rakyat Indonesia yang sangat majemuk ini terwakili dalam tiga lembaga perwakilan yaitu MPR, DPR dan DPA. Dimana sekarang lembaga itu diubah menjadi Dewan Pertimbangan Presiden yang isinya para konglomerat,” ujar Prof Sofian.

Kiri ke kanan: Prof Sofian Efendi, Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, dr Zulkifli, dan Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja. (Foto: arahjatim.com)

Sementara Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono menyatakan adalah keharusan saat ditanya tentang kaji ulang UUD 1945 hasil amandemen. Menurutnya terlalu banyak penyimpangan dalam UUD 1945 hasil amandemen.

“Ini harus menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia, karena terlalu banyak penyimpangan yang terjadi akibat amandemen ini. Menurut saya UUD 1945 yang sudah diamandemen itu betul-betul berjiwa liberalis,” ucap Bambang tegas.

Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, S.Psi (Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja Kesultanan Cirebon) selaku perwakilan yang menyampaikan mandat kepada Ketua DPD RI mengatakan, Republik ini perlu kembali ke jalur yang sesungguhnya. Karena hasil amandemen UUD ini pengaruhnya sangat luar biasa kepada masyarakat. Selaku Sultan di Kasepuhan Cirebon dirinya melihat bagaimana kemakmuran rakyat semakin lama semakin mengalami penurunan.

Menguatkan pendapat Prof Kaelan (Guru Besar UGM) dari hasil penelitiannya yang menyebutkan bahwa telah terjadi pergantian (bukan perubahan) pada UUD 1945 hasil amandemen, dr Zulkifli S.Ekomei mengatakan bahwa sebelum amandemen memang sudah ada pihak-pihak yang berniat untuk mengganti konstitusi yang sudah ada.

“Ini bukan perubahan tapi pergantian dan ini konfirm dengan satu temuan yang saya temukan bahwa sebelum terjadinya pergantian itu ada 18 LSM yang dibiayai asing membentuk koalisi ornop untuk konstitusi baru. Jadi niat mengganti konstitusi itu sudah ada. Mereka masuk melalui pasal 37 tentang perubahan, dan pasal 3 mengenai Ketetapan MPR. Padahal setelah saya teliti tidak ada ketetapan yang menetapkan UUD yang baru ini. Tap tanpa nomor tanggal 10 Agustus 2002 itu menetapkan perubahan ke-4. Ini inkonstitusional. Sudah jelas ini makar terhadap negara,” tukas Zulkifli. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.