Amnesti Politik dan Omon-Omon Oposisi

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

Amnesti untuk Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dan abolisi untuk Tom Lembong, tokoh kunci di kubu Anies Baswedan, tampaknya menjadi langkah signifikan dari Prabowo, yang disetujui DPR pada 31 Juli 2025.

Hasto, yang divonis 3,5 tahun dalam kasus suap terkait pengganti antarwaktu Harun Masiku di DPR, bebas pada 1 Agustus 2025. Tom Lembong, yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun atas kasus korupsi impor gula, dibebaskan dari proses hukum sepenuhnya. Keduanya keluar menjelang Hari Kemerdekaan ke-80 Indonesia, sebuah waktu yang sarat makna simbolis.

pasang iklan orange
pasang iklan blue
Malika Dwi Ana

Tampak bahwa langkah ini bukan sekadar pengampunan, melainkan permainan catur politik, sejalan dengan beberapa analisis yang menyebutnya sebagai strategi cerdas untuk “menjinakkan” lawan politik, khususnya PDIP dan pendukung Anies. PDIP, misalnya, langsung melunak pasca-amnesti, dengan Megawati menginstruksikan partainya mendukung pemerintahan Prabowo. Begitu pula, pertemuan Anies dengan Tom Lembong pasca-bebas dan ucapan terima kasihnya kepada Prabowo menunjukkan potensi de-eskalasi ketegangan dengan rival lamanya.

Gagasan bahwa Prabowo membiarkan palu hakim menghantam kepala keduanya sebelum memberikan pengampunan cukup masuk akal. Menandakan bahwa ia tak ikut campur selama proses hukum, menjaga independensi yudisial—sesuatu yang dipuji oleh pengamat soal menekankan pentingnya kepercayaan pada proses hukum yang adil untuk demokrasi. Dengan membiarkan vonis jatuh lalu menggunakan hak prerogatifnya, Prabowo bisa memproyeksikan kekuatan sekaligus kemurahan hati, memperkuat citranya sebagai pemimpin yang menyatukan, sambil secara halus mengirim pesan, “sorry yee..sorry yee don’t play play with me.

Namun, ada sudut pandang lain yang berargumen bahwa kasus Hasto dan Tom dari awal bermotif politik, didorong oleh kritik mereka terhadap proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan dugaan penyalahgunaan bansos dalam pemilu. Jika benar, ini menunjukkan bahwa proses hukum itu sendiri adalah alat untuk membungkam kritik, dan pengampunan Prabowo bisa dilihat sebagai langkah korektif untuk mengembalikan keseimbangan politik. Meski begitu, ini tak mengurangi keuntungan politik yang didapat—sikap PDIP yang berbalik mendukung dan respons Anies yang meredam menunjukkan bahwa Prabowo mungkin memang telah “membungkam mulut” lawan-lawan politiknya.

Kubu Prabowo, termasuk tokoh seperti Titiek Soeharto dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa keputusan ini untuk persatuan dan stabilitas nasional, bukan sekadar permainan politik. Jamiluddin Ritonga dari Universitas Esa Unggul berpendapat bahwa politik akomodatif Prabowo bertujuan menciptakan stabilitas untuk pembangunan, bukan hanya membungkam kritik. Waktu pelaksanaan yang dekat dengan Hari Kemerdekaan, plus penyertaan 1.116 orang lain dalam paket amnesti, menunjukkan gestur yang lebih luas di luar sekadar menarget Mega dan Anies.

Meski begitu, soal pesan Prabowo kepada lawan politik terdengar tepat. Pengampunan ini bisa jadi peringatan: ia punya kuasa untuk membiarkan hukum berjalan atau menghentikannya, menjaga rival tetap di bawah kendali. Namun, ada risiko, bahwa boleh jadi ini menjadi bumerang. Dukungan PDIP mungkin hanya taktis, dan kritik bisa muncul bahwa langkah ini melemahkan upaya anti-korupsi, meski pemerintah Prabowo menegaskan komitmennya melawan korupsi tetap berlanjut.

Singkatnya, amnesti dan abolisi Prabowo tampak sebagai langkah berlapis: kombinasi rekonsiliasi, proyeksi kekuatan, dan pembungkaman strategis terhadap oposisi. Apakah ini benar-benar membuat Mega dan Anies diam atau hanya membeli waktu di tengah lanskap politik yang “seragam” masih akan terlihat nanti. Yang jelas, Prabowo menunjukkan ia memegang kendali, dan ia tak main-main. (mda)

Catatan Kecil, 02082025


Penulis: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.


No More Posts Available.

No more pages to load.