Tuol Sleng dan Jejak Ambisi Pol Pot

oleh -
oleh

ArahJatim.com – Tuol Sleng di jantung kota Phnom Penh berubah sejak Vietnam berhasil menaklukkan Kamboja memasuki awal 90 an. Penjara itu berhasil melenyapkan ribuan nyawa warga Kamboja saat masih dipimpin rezim Khmer Merah di bawah tangan besi Pol Pot.

Bangunan yang dibuat penjara itu dulunya merupakan bekas sekolah yang dialihfungsikan. Dengan sekat-sekat ruangan sempit, tahanan mendekam di balik dinginnya lantai tanpa alas.

Para tahanan sebenarnya tak tahu pasti mengapa mereka ditahan dan disiksa dengan sadis. Bersyukur jika masih hidup. Nyatanya para tahanan hanya bisa pasrah jika kematian datang menjemputnya. Sebuah rekayasa sosial yang diciptakan Pol Pot untuk menghabisi sisa pemerintahan sebelumnya.

arahjatim new community
arahjatim new community

Rata-rata dari mereka merupakan tahanan yang mengabdi untuk negara di periode pemerintahan sebelumnya. Imbasnya, keluarga mereka turut ditahan tanpa melihat batas usia.

Dalam kurun waktu hanya 4 tahun saja, 20 persen populasi di Kamboja meregang nyawa menjadi korban Genosdia ala Pol Pot.

Alasan tragedi pembantain kemanusiaan itu, pemerintah ingin mewujudkan masyarakat Kamboja menjadi Agraris Autarkis. Sebuah konsep yang harus mengorbankan jutaan nyawa melayang.

Penjara itu sebenarnya mulai dioperasikan pada 1975, dengan maksud mengakomodir tahanan politik. Berbagai ruangan disulap sedemikian rupa dengan dipasang beberapa kawat besi di setiap ruangan. Tiap sel dengan ukuran 0.8 x 2 meter diisi oleh 1 tahanan. Sedangkan ruangan yang lebih besar diisi oleh 40 sampai 50 tahanan.

Mereka diborgol dengan besi dan tidak saling berhadapan. Tidak juga diperkenankan untuk saling berbicara. Bahkan untuk sekedar duduk dan berguling saja memerlukan izin. Hingga menunggu jadwal eksekusi mati di Cheoung EK, sebuah lapangan perkebunan tempat eksekusu mati tahanan. Di perkebunan itu juga para tahanan diharuskan menggali kubur untuk menyambut kematiannya.

Para tahanan bebas setelah prajurit Vietnam berhasil menggempur Tuol Sleng di Ponh Phem. Mereka hanya tersisa 12 orang saja yang masih hidup dari jumlah total yang mencapai puluhan ribu tahanan.

Pemerintahan Otoriter

Pol Pot menganggap dirinya sebagai sang Revolusioner Kamboja dengan anggapan membawa paradigam dan sistem pemerintahan yang cenderung berbeda. Bentuk pemaksaan radikal ia terapkan pada saat pemerintahannya.

Dia mulai aktif di pemerintahan sesaat setelah kembali dari Prancis yang kuliahnya tak rampung. Dia beraliran kiri ditandai saat dirinya aktif di “Lingkaran Marxis”. Di situ ia juga mulai memerangi Raja Norodom Sihanouk hingga ia berhasil menggulingkan Sihanouk pada 1970.

Haing Ngor, warga Kamboja yang menuliskan kisah ini dalam buku “Neraka Kamboja” membeberkan, “Bermula dari kudeta terhadap Pangeran Norodom Sihanouk yang dilancarkan oleh Pangeran Sisowath Sirik Matak dan Jenderal Lon Nol di bulan Maret 1970, dengan cepat negeri Kamboja yang semula dijuluki “Pulau Damai” di tengah kancah perang Vietnam segera terseret ke dalam arus pergolakan di kawasan itu. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 April 1975, Phnom Penh jatuh ke tangan gerilyawan Komonis Khmer Merah.”

Sejak itu, warga Kamboja seolah hidup dalam “neraka”. Pol Pot yang duduk sebagai perdana menteri dan Sekjen Partai Komunis mengubah masyarakat Kamboja jadi masyarakat agraris dengan cara dipaksa.

Masyarakat dipaksa pulang ke desa untuk menggarap sawah. Baju hanya dikenal satu warna, hitam. Namun kebijakan “tahun nol” ini telah membawa rakyat Kamboja ke jurang kehancuran bahkan genosida. Di tahun nol, semua budaya, tradisi yang tidak sesuai dengan kebijakan paham komunis harus dibuang dan dihancurkan.

Bahkan dia mengatakan jika rezim Khmer Merah telah mengubah berjuta-juta manusia normal yang hidup bahagia menjadi sesuatu yang lebih mirip binatang.

No More Posts Available.

No more pages to load.