Whoosh: Geopolitik Pantura dan Jerat Utang China yang Mengikat Indonesia

oleh -
oleh
Malika Dwi Ana

Deru kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh, melaju 350 km/jam, bukan sekadar simbol kemajuan teknologi. Ia adalah arena pertempuran geopolitik di Pantura, koridor emas Jawa yang bernilai triliunan rupiah. Digagas Jepang, direbut China, dan diwariskan Jokowi sebagai beban utang Rp 120 triliun, proyek ini mengungkap kelemahan fatal Indonesia dalam pusaran ambisi raksasa Asia. Dua tahun beroperasi, Whoosh angkut 12 juta penumpang, namun merugi Rp 1,6 triliun pada semester I 2025. Bunga 2% per tahun ke China Development Bank (CDB) terus menggerogoti, sementara Jepang, yang pernah tersinggung seperti pada kasus Mobil Timor, kini mengintai peluang balas dendam. Ini bukan kisah kemajuan; ini peringatan keras: infrastruktur tanpa strategi geopolitik adalah jalan menuju ketergantungan.

Pantura, khususnya jalur Karawang-Purwakarta, adalah nadi ekonomi Jawa. Karawang, dengan 2.000 pabrik yang didominasi raksasa Jepang seperti Toyota dan Honda, menyumbang Rp 350 triliun ke PDB nasional 2025. Upah minimum Rp 5,69 juta dan biaya hidup keluarga Rp 14 juta per bulan menjadikannya magnet industri otomotif dan elektronik, mengendalikan 80% arus ekspor via Pelabuhan Tanjung Priok. Purwakarta, gerbang selatan menuju Bandung, menyumbang Rp 150 triliun melalui manufaktur ringan dan agribisnis, dengan biaya hidup per kapita Rp 1,56 juta – strategis, namun lebih hemat.

Pantura: Arteri Geoekonomi dalam Cengkeraman China

pasang iklan orange
pasang iklan blue

Whoosh, dengan lintasan 142,3 km, memangkas waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi 40 menit. Dampaknya nyata: investasi Rp 20 triliun mengalir ke kawasan stasiun seperti Karawang, ekspor naik 15% berkat koneksi tol-rel, dan pariwisata Bandung melonjak 25%. Namun, harga yang dibayar terlalu mahal: banjir di Pantura mengancam rantai pasok, pembebasan lahan memicu konflik sosial, dan utang Rp 120 triliun ke China, dengan bunga tahunan Rp 2 triliun, menjadi beban lintas generasi. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China kini menguasai 50% pengaruh di koridor ini, naik dari nol sebelum 2015. Jepang, yang dulu mendominasi 90% industri otomotif Pantura, kini turun ke 70%, meski membalas dengan lonjakan investasi kendaraan listrik (EV) sebesar 15% sejak 2015.

Sejarah Whoosh: Dari Visi Jepang ke Cengkeraman China

Proyek kereta cepat bermula dari visi SBY pada 2008, dengan studi JICA Jepang: rute Jakarta-Surabaya, biaya US$6,2 miliar, bunga 0,1%, dan tenor 40 tahun. Namun, pada 2015, Jokowi membuat keputusan kontroversial dengan memilih China: biaya awal US$5,5 miliar, skema B2B tanpa APBN, dan bunga 2%. Groundbreaking dilakukan 2016, uji coba 2023, dan resmi beroperasi 17 Oktober 2023 – namun biaya membengkak menjadi US$7,27 miliar (Rp 120 triliun). Konsorsium KCIC (60% BUMN Indonesia, 40% China) dibentuk 2015, tetapi pada 2021, Perpres 93 menyuntik PMN Rp 3 triliun dari APBN untuk menutup pembengkakan biaya.

Jokowi menjanjikan proyek ini “tanpa utang negara”, tetapi kenyataan berkata lain. Pada 2025, Whoosh melayani 62 perjalanan per hari, mencatatkan puncak 26.770 penumpang pada Juni, dengan 20.996 kartu Frequent Whoosher terjual. Namun, kerugian Rp 1,6 triliun pada semester I, bunga tahunan Rp 2 triliun, dan biaya per kilometer US$52 juta – tiga kali lipat standar China domestik (US$17-30 juta) – menunjukkan inefisiensi. Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, menyoroti mark-up ini sebagai ancaman kedaulatan, mirip kasus Natuna. KPK kini mengusut dugaan korupsi, menambah skandal pada proyek yang diklaim “zero accident” – kecuali insiden melindas biawak yang menunda operasi 40 menit.

Pemain Global: China Mendominasi, Jepang Mengintai

China muncul sebagai pemenang utama. Melalui ekspor teknologi kereta Fuxing, pinjaman US$4,5 miliar ke KCIC, dan penguasaan logistik Jawa via BRI, pengaruh mereka di Pantura melonjak 50%, menggeser Jepang yang kehilangan proyek senilai US$6 miliar. Tokyo, yang “kecele” pada 2015, memprotes melalui karikatur media dan meninjau ulang hubungan bisnis. Namun, Jepang tak tinggal diam: mereka merebut proyek KA semi-cepat Jakarta-Surabaya 2019 (US$5 miliar, 200 km/jam) sebagai “kompensasi”, sekaligus mendorong investasi EV di Indonesia naik 15%. Melalui aliansi QUAD (AS-Jepang-India-Australia), Jepang melobi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada China.

BUMN Indonesia, melalui KCIC dan KAI, mendapat transfer teknologi dan menciptakan 40.000 lapangan kerja, tetapi terjebak dalam kerugian operasional dan utang PMN yang membebani APBN. Masyarakat Purwasuka diuntungkan oleh investasi Rp 20 triliun dan lonjakan wisata, namun konflik lahan dan banjir parah menjadi bumerang. AS dan Barat, meski netral, mengkritik BRI sebagai “jebakan utang” dan mendorong diversifikasi melalui QUAD. China menang secara geostrategis, menguasai jalur logistik ala MacKinder tahap 3, sementara Jepang beralih ke geoekonomi. Indonesia? Terperangkap dalam ambisi: pendapatan tiket tak mampu menutup bunga, dengan proyeksi kerugian Rp 4,1 triliun per tahun.

Pelajaran Mobil Timor: Jepang Tak Pernah Menyerah

Kasus Mobil Timor 1996 menjadi cermin. Melalui Inpres 2/1996, Suharto menunjuk PT Timor Putra Nasional (Tommy Soeharto) untuk membangun mobil nasional. Mobil Timor, rebadge Kia Sephia, dijual Rp 35 juta – separuh harga mobil Jepang – berkat pembebasan pajak 60%. Jepang, yang menguasai 90% pasar otomotif, bereaksi keras. Bersama AS dan UE, mereka menggugat ke WTO, menang, dan krisis 1997 menghantam Timor hingga berhenti pada 1998, bersamaan dengan lengsernya Suharto. Jepang mendukung reformasi melalui lobi ekonomi, seperti disorot “Suharto Inc.” di majalah Time, mempercepat kejatuhan Orde Baru.

Paralel dengan Whoosh mencolok: memilih China atas Jepang adalah langkah berisiko. Tokyo protes halus pada 2015, tetapi pada 2025, sinyal lobi Prabowo-Trump di Mesir menunjukkan upaya menetralkan pengaruh China. Jepang bermain cerdas: menggunakan soft power via bantuan ODA dan menghindari konfrontasi langsung, tetapi memastikan pengaruh melalui proyek lain. Kasus Timor membuktikan Jepang mampu mengubah rezim jika kepentingan mereka terancam; kini, utang Whoosh bisa menjadi katalis perubahan geopolitik di era Prabowo.

Kesimpulan: Rel Emas atau Jerat Jebakan?

Whoosh menguntungkan China, merugikan Jepang – namun Tokyo tak patah arang, membalas melalui QUAD dan proyek Surabaya. Jokowi mewariskan “bom waktu” Rp 120 triliun kepada Prabowo, dengan kerugian operasional dan dugaan korupsi yang kini diusut KPK. DPR menyoroti risiko kebangkrutan KAI, meski ketepatan waktu mencapai 99,9%. Indonesia harus bertindak cepat: diversifikasi melalui proyek Jepang untuk KA Surabaya, usut tuntas mark-up, dan waspadai eskalasi ketegangan seperti di Natuna. Rel emas ini bisa menjadi jerat jebakan – keputusan ada di tangan kita, tetapi waktu sudah sangat kritis.

(Malika’s Insight, 23/10/2025)

Penulis : Malika Dwi Ana – Pemerhati Sosial

No More Posts Available.

No more pages to load.