Oleh: Malika Dwi Ana
Di balik sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin (2014-2024), Indonesia menyaksikan parade kebohongan politik yang sistematis dan tak kunjung usai. Bukan sekadar janji kampanye yang menguap, melainkan narasi terstruktur yang dirancang untuk membius opini publik, menyembunyikan kegagalan struktural, serta mengorbankan kesejahteraan rakyat demi kepentingan segelintir elite oligarki. Ini bukan kritik partisan biasa; ini adalah catatan hitam atas kebangkrutan intelektual yang mencerminkan preferensi kekuasaan yang lebih suka berbohong ketimbang bertanggung jawab. Daftarnya panjang dan terus bertambah, dengan “Family Office” sebagai tambahan ironi baru di tengah gelombang skeptisisme publik. Mari kita bedah untuk membuktikan betapa rapuhnya fondasi narasi ini.
Esemka: Mobil Nasional yang Berakhir sebagai Karikatur Gagal
Proyek Esemka, yang digembar-gemborkan Jokowi sejak era Wali Kota Solo sebagai simbol kemandirian industri otomotif nasional, kini menjadi lelucon pahit nasional. Dijanjikan produksi massal dan ekspor, realitas hingga 2025 justru sebaliknya: pabrik PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) di Boyolali sepi seperti kuburan, tanpa tanda-tanda produksi baru. Publik mengejek “pesanan 6.000 unit itu bohong belaka”, dan fakta mendukungnya—penjualan terbatas pada model lama seperti Bima (Rp 100-116 juta) dan Rajawali bekas (Rp 73 juta di showroom second).
Gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Solo (nomor 96/Pdt.G/2025/PN Skt) terhadap Jokowi dan kawan-kawan bahkan menuntut pengiriman mobil “layak jalan” senilai Rp 110 juta per unit, yang tak pernah terealisasi. Menurut laporan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) per September 2025, kapasitas produksi Esemka hanya 1.200 unit/tahun, jauh di bawah target 50.000 unit. Ribuan tenaga kerja terlantar, dan mimpi kemandirian otomotif pupus. Esemka bukan mobil nasional; ia korban janji politik yang mati di meja gambar, meninggalkan warisan memalukan bagi bangsa.
Raja Nikel Dunia: Bukan Kemakmuran, Tapi Pesta Oligarki dan Kerusakan Ekosistem
Indonesia memang memimpin produksi nikel global dengan 1,8 juta ton pada 2024 (USGS data 2025), termasuk empat tambang raksasa seperti Weda Bay (516 ribu ton pada 2023). Namun, gelar “raja nikel” hanyalah topeng untuk pembagian lahan ke oligarki dan invasi modal asing. Larangan ekspor bijih mentah sejak 2020 memicu masuknya 77 investor Cina di Forum Mahakam 2024, tapi lihat dampaknya: di Raja Ampat, 500 hektare hutan primer diratakan, sedimentasi lumpur mencemari 75% spesies karang dunia (laporan WWF 2025).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut 4 dari 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Gag Nikel pada Juni 2025, tapi operasi lolos karena banding di pengadilan dan ekspansi berlanjut di Sorong. Greenpeace Indonesia (laporan Juli 2025) menyebut ini “surga terakhir yang hilang”, dengan rencana smelter baru mengancam status UNESCO Geopark Raja Ampat. Hilirisasi seharusnya untuk rakyat, tapi nelayan Papua kehilangan mata pencaharian—pendapatan turun 60% (data BPS Papua Barat 2025). Ini bukan kemakmuran; ini keserakahan yang lebih kejam, di mana ekosistem dan masyarakat lokal jadi korban pesta korporasi.
Tax Amnesty: Pengampunan Pajak Orang Kaya, Beban Berat bagi Rakyat
Program Tax Amnesty 2016-2017 menjanjikan repatriasi Rp 11.000 triliun, tapi hanya meraup Rp 4.865 triliun deklarasi aset dan Rp 114 triliun tebusan—gagal total (data Ditjen Pajak 2025). Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022 lebih buruk: partisipasi 1,2 juta wajib pajak, tapi rasio pajak terhadap PDB stagnan di 10,2% (OECD 2025). Kini, RUU Tax Amnesty Jilid III masuk Prolegnas 2025, diiklankan sebagai “peluang emas” oleh pemerintah, tapi dikecam sebagai “keistimewaan pengemplang” oleh Koalisi Anti-Korupsi.
Sri Mulyani pernah berjanji “tak ada lagi amnesty” pada 2019, tapi DPR dan pemerintah memaksanya masuk ke agenda untuk dongkrak penerimaan dari ultra-orang kaya, sambil naikkan PPh menengah-bawah ke 12% (UU HPP 2021 revisi 2025). Ironis: pajak orang kaya efektif turun via amnesty berulang, sementara money laundering dilegalkan. Ini bukan reformasi pajak; ini legalisasi ketidakadilan, di mana rakyat kecil harus bayar harga mahal untuk keserakahan elite.
Pertumbuhan Ekonomi 7%: Janji Kosong di Tengah Perlambatan Struktural
Target 7% pertumbuhan sejak RPJMN 2014 tak pernah tercapai, dengan rata-rata 5,0% (2015-2023, BPS). Tahun 2025 makin tragis: Q1 hanya 4,87% (yoy), proyeksi pemerintah dipangkas ke 4,7-5,1% (Kemenkeu Oktober 2025). IMF, OECD, dan Bank Indonesia serempak revisi turun ke 4,7% akibat gejolak global (Trump 2.0) dan defisit APBN Rp 662 triliun. Jokowi janji “meroket”, tapi realitas: indeks manufaktur PMI turun ke 47,2 (September 2025), pengangguran naik ke 4,76% (BPS Agustus 2025), konsumsi rumah tangga mandek di 4,9%.
Ini bukan kegagalan eksternal semata; ini akibat kebijakan populis tanpa fondasi—subsidi energi boros, investasi infrastruktur tak produktif. Warisan: utang publik 40% PDB dan ketimpangan Gini 0,388 (2025)—Koefisien Gini (Gini Coefficient), sebuah ukuran statistik untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan atau kekayaan dalam suatu masyarakat. 7%? Lebih tepat disebut 7 tahun kebohongan beruntun.
Omnibus Law: UU Cipta Kerja yang Lahirkan Kekacauan Lapangan Kerja
UU Cipta Kerja (UU 1/2020) janji kemudahan berusaha, tapi implementasi 2025 babak belur: Mahkamah Konstitusi (MK) revisi 21 pasal via putusan 168/PUU-XXI/2023, menghidupkan kembali UU 13/2003 untuk lindungi PKWT, PHK, dan outsourcing. Tarif PPh badan turun ke 20% (2025), tapi protes buruh membanjiri jalan—kenaikan UMP ditolak di 15 provinsi, outsourcing tak terkendali (data KSPI 2025: 2 juta pekerja terdampak).
Klaster ketenagakerjaan memicu mogok massal (seratus ribu buruh di Jabodetabek, Oktober 2025), sementara relaksasi izin lingkungan merusak ribuan hektare hutan. Ini bukan Omnibus Law; ini undang-undang kekacauan yang untungkan korporasi tapi merampas hak buruh. Jokowi sebut ini “solusi”, tapi realitas lapangan bilang ini bencana.
Kereta Api Cepat: Janji Tanpa APBN, Realitas Utang Jumbo Bebani Negara
Janji business-to-business (B2B) murni sejak 2015 pupus: utang KCIC Rp 116 triliun (US$7,27 miliar, kurs 2025), bunga 3,1-3,2% tenor 45 tahun, ditanggung via PMN APBN dan China Development Bank (laporan BPK 2025). Menkeu saat transisi tolak lunasi—”lucu kalau untung ke swasta, tapi kalau rugi ke APBN”—tapi Istana cari skema perpanjangan ke Surabaya. Whoosh beroperasi sejak 2023, tapi defisit operasional Rp 80 triliun/tahun (proyeksi KCIC 2025). Bohong awal: “tak pakai APBN”. Realitas: rakyat bayar via pajak untuk beban utang 60 tahun ke depan.
IKN: Investor Asing dan Non-Utang? Semua Omong Kosong Belaka
Dijanjikan Rp 466 triliun non-utang (20% APBN, 80% swasta), realitas 2025: Rp 41 triliun dari 23 investor domestik, asing minim—hanya 5 (Singapura, China, Australia, Rusia, Jepang) Rp 1,15 triliun di groundbreaking ke-8 (OKI data Oktober 2025). Bahlil Lahadalia akui infrastruktur klaster I belum 100%, investor asing “belum ada antrean” meski Jokowi klaim sudah pada ngantri. Progres fisik 48% (BP IKN 2025), dana APBN bocor via PMN BUMN Rp 20 triliun. Publik sebut “investor 472 itu bohong!”. IKN bukan visi; ia monumen kegagalan Jokowi, di mana rakyat Kalimantan jadi korban janji elite Jakarta—kota mati dengan biaya tak terkira.
Family Office: Nol Besar, Keserakahan Elite Tanpa Fondasi
Inisiatif terbaru Luhut sejak 2024, janji tarik US$11,7 triliun dana ultra-orang kaya global via Bali dengan pembebasan pajak. Target operasi Februari 2025, tapi Oktober ini masih persiapan, dan ditolak Menkeu Purbaya (dia bilang tak alihkan APBN kesitu), Luhut kejar restu Prabowo. Tim DEN-Airlangga kerja 6 bulan, tapi infrastruktur legal, regulasi, dan ekosistemnya nol besar (kritik Celios & ICW 2025: rawan money laundering , Indonesia tak punya prakondisi seperti Singapura). Luhut klaim “US$500 miliar”, tapi realitas: pesta pajak untuk si kaya, sementara PPh menengah naik 12%. Ini tambahan daftar kebohongan akhir rezim Jokowi.
Kesimpulan: Warisan Busuk yang Harus Diakhiri
Pemerintahan Jokowi membanggakan “infrastruktur megah”, tapi dibangun di atas tumpukan kebohongan demi kebohongan—meninggalkan rakyat dalam himpitan utang Rp 8.500 triliun (2025), kerusakan lingkungan ireversibel, dan ketidakpercayaan mendalam. Era berganti ke Prabowo-Gibran, tapi publik tak boleh tertipu lagi. Kebangkrutan intelektual ini bukan kegagalan tak disengaja, melainkan pilihan sadar. Saatnya menuntut akuntabilitas penuh, bukan kecelik dan tertipu narasi kosong. Indonesia layak menjadi lebih baik!
(Malika’s Insight, 30 Oktober 2025. Sumber: BPS, KLHK, Kemenkeu, BPK, MK, USGS, OECD, WWF, Greenpeace, ICW, Celios, dan data resmi terkini hingga Oktober 2025).
Penulis : Pemerhati Sosial





