Jember, ArahJatim.com – Guna menggali dan memahami hubungan ekologi dan budaya di sekitar kawasan Argopuro bagian selatan serta bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Jember, BalaiRW Institute menggelar sarasehan bertajuk “Ekologi Budaya Hyang Argopuro” pada Kamis (27/2).
Sarasehan yang digelar di Auditorium R Soemitro, RRI Jember ini diikuti puluhan peserta, umumnya akademisi, pelaku seni dan budaya di Jember. Panitia menghadirkan empat orang narasumber yakni Imam Jazuli, praktisi kecagarbudayaan, Ananda Firman J, praktisi ekologi, Bambang Rudianto, Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Jember, dan Chandra Ary Fianto, dari Komisi B DPRD Jember.
Edwin Roseno, salah satu pendiri BalaiRW Institute dalam sambutannya mengatakan, Sarasehan “Ekologi Budaya Hyang Argopuro” dirancang untuk menarik perhatian dan memicu diskusi kalangan luas, meski tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan semua pihak.
“Sarasehan ini tetap berusaha untuk menggabungkan berbagai perspektif, termasuk kebencanaan dan nostalgia, sebagai bagian dari upaya memahami kompleksitas pegunungan Hyang. Paradigma ekologi budaya memang menawarkan pendekatan yang menarik, namun tidak berarti bahwa pendekatan lain tidak valid,” paparnya.

Lanjut Edwin, sarasehan tersebut justru mencoba untuk memperkaya diskusi dengan memasukkan berbagai sudut pandang, termasuk yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ekologi budaya.
Pendekatan dan fokus Sarasehan tidak hanya berfokus pada nostalgia, tetapi juga melihat pegunungan Hyang dalam konteks yang lebih luas, termasuk aspek kebencanaan dan interaksi manusia dengan lingkungan.
“Ini adalah upaya untuk memahami kompleksitas dan dinamika yang ada, yang mungkin tidak sepenuhnya tercakup dalam paradigma ekologi budaya. Diskusi tentang hubungan antara komunitas bukit dan lembah, serta aspek politis, kosmologis, dan ekonomi, memang penting. Namun, sarasehan ini juga mencoba untuk melihat aspek-aspek lain yang mungkin tidak sepenuhnya tercakup dalam pendekatan ekologi budaya,” jelasnya.
Edwin mengatakan, temuan artefak-artefak dinilai sangat berharga dan merupakan bagian penting dari upaya memahami budaya dan sejarah pegunungan Hyang. Sarasehan ini mencoba untuk menghargai dan memanfaatkan temuan-temuan tersebut sebagai bagian dari upaya untuk memahami dan melestarikan budaya.
“Ini sebagai langkah awal yang dapat diperbaiki dan disempurnakan di masa depan. Kita semua memiliki peran dalam upaya memahami dan melestarikan budaya dan lingkungan pegunungan Hyang. Mari kita bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut,” harap Edwin.
Melalui perspektif masing-masing ahli, panitia berharap sarasehan ini mampu menghasilkan rumusan yang berfokus pada perlindungan, pelestarian, dan pengembangan potensi ekologi budaya yang ada di daerah tersebut.
Rumusan yang tercipta nantinya akan diajukan sebagai kebijakan publik, dengan harapan dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang lebih bijak dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan budaya di Jember.
Selain itu panitia sarasehan juga memandang penting untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait dalam menjaga warisan budaya serta keseimbangan ekosistem.
Untuk diketahui, Sarasehan Ekologi Budaya Hyang Argopuro ini adalah bagian dari rangkaian Grebeg Budaya Kampung Jember 2025. (nsl)