Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Berani Mengakui Pahlawannya

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.”
Kata-kata itu bukan sekadar slogan kosong. Itu darah, itu nyawa, itu harga mati yang dibayar para pendahulu kita. Tapi hari ini, kalimat itu sedang diinjak-injak di depan mata kita. Oleh siapa? Oleh elit politik yang lebih suka menggali kubur masa lalu daripada membangun masa depan.

pasang iklan orange

Mereka menolak gelar Pahlawan Nasional untuk Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto. Alasannya? “Pelanggar HAM”, “koruptor”, “diktator”. Lucunya, alasan yang sama tidak pernah mereka pakai ketika memberi gelar Pahlawan Proklamator kepada Soekarno, yang memenjarakan bahkan membunuh lawan politiknya tanpa pengadilan, membungkam pers, dan membiarkan PKI membantai ribuan santri di Madiun 1948.
Soekarno dapat dua gelar pahlawan. Dari tangan Soeharto sendiri. Saat giliran Soeharto tiba? Ditolak mentah-mentah. Ini bukan soal keadilan. Ini soal dendam politik yang sudah membusuk 57 tahun.

Siapa Yang Bilang Soeharto Bukan Pahlawan?

Coba tanyakan pada petani yang dulu menangis bahagia saat Indonesia swasembada pangan 1984.
Tanyakan pada anak SD yang dulu sekolah gratis karena Inpres SD.
Tanyakan pada buruh yang dulu gajinya naik tiap tahun karena Repelita tumbuh 7%.
Tanyakan pada rakyat Aceh, Papua, Timor Timur yang dulu tidur nyenyak karena NKRI utuh tanpa teror separatis.
Mereka semua akan menjawab:
“Soeharto adalah pahlawan kami.”

Lucu saja:
Mereka yang tidak pernah merasakan hidup dijaman Orba, tak pernah merasakan inflasi 650% tahun 1966, mereka yang tidak pernah antre beras karena kelaparan, mereka yang lahir setelah 1998 dan cuma bisa baca sejarah dari Wikipedia versi buzzer, yang bilang: “Soeharto tidak layak jadi pahlawan.”

Soeharto Adalah Murid Jenderal Sudirman yang Dikhianati Anak Cucu Bangsa

Tahun 1949, Letnan Kolonel Soeharto memimpin Serangan Umum 1 Maret.
Enam jam menguasai Yogyakarta. Bendera Merah Putih berkibar di atas kota yang dikuasai Belanda.
Jenderal Sudirman sendiri yang memuji:
“Tanpa Soeharto, Yogyakarta tidak akan pernah kembali.”

Tahun 1966, Mayor Jenderal Soeharto memimpin operasi penumpasan G30S/PKI.
Enam bulan membersihkan pengkhianat yang ingin ganti Pancasila dengan palu arit. Dokumen CIA (declassified 2017) sendiri bilang: “The Indonesian coup of 1965–66 was the biggest victory for the West in the entire Cold War after Cuba.”
Artinya: Soeharto mengalahkan komunisme di negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.
“Kemenangan terbesar Barat di Perang Dingin.”

Sudirman selamatkan Indonesia dari Belanda.
Soeharto selamatkan Indonesia dari Belanda dan dari komunisme.
Sudirman jadi Pahlawan Nasional.
Soeharto? Ditolak!
Ini bukan logika. Ini pengkhianatan terhadap sejarah.

Soeharto Memberi Gelar Pahlawan pada Semua Musuh Politiknya. Kita Balas dengan Apa?

  • Soekarno → Pahlawan Proklamator (1986)
  • Mohammad Hatta → Pahlawan Proklamator (1986)
  • Sutan Sjahrir → Pahlawan Nasional (1966)
  • Mohammad Natsir → Pahlawan Nasional (2008)
    Semua diberi gelar di era Soeharto.
    Tanpa dendam. Tanpa syarat.
    Bukti bahwa Soeharto mikul dhuwur, mêndhêm jêro.
    Tapi ketika tiba giliran dia, PKI, anak-cucu Soekarno, dan para pembenci Orba berteriak:
    “Tidak! Dia diktator! Dia koruptor, dia dalang dibalik genosida ’65!”

Kalau Soeharto diktator, mengapa dia memberi gelar pahlawan pada musuhnya?
Kalau Soeharto koruptor, mengapa dia mati-matian tolak IMF tahun 1998 sampai detik terakhir?
Kalau Soeharto jahat, mengapa dia tidak pernah sekali pun jelekkan Soekarno di depan publik?
Ini bukan soal fakta. Ini soal dendam yang dijual sebagai kebenaran.

Bangsa yang Besar Bukan Bangsa yang Lupa Jasa Pahlawannya

Jerman menghormati Bismarck meski dia otoriter.
Prancis menghormati Napoleon meski dia diktator.
Amerika menghormati Washington meski dia budak pemilik.
Indonesia?
Kita lebih suka mengorek kubur Soeharto daripada mengakui dia yang membuat kita bisa makan nasi, sekolah, dan tidur tenang selama 32 tahun.

Kalau Soeharto tidak layak jadi pahlawan,
maka cabut saja gelar Soekarno.
Cabut gelar Sudirman.
Cabut gelar semua pahlawan yang pernah salah.
Tapi kita tidak akan pernah melakukan itu.
Karena kita tahu: pahlawan bukan malaikat. Pahlawan adalah manusia yang berani mengambil keputusan sulit di saat bangsa terancam hancur.

Soeharto sudah melakukan itu. Dua kali.

  • 1949 melawan Belanda.
  • 1966 melawan PKI.
  • Bangun negara dari inflasi 650% jadi 6%, dari kelaparan jadi swasembada pangan, dari jalan tanah jadi jalan tol pertama.
  • Jaga NKRI utuh 32 tahun tanpa satu pun provinsi minta merdeka (bandingkan era reformasi: Aceh, Papua, dll).

Hentikan Pengkhianatan Ini

Hentikan narasi dendam yang dijual dengan bungkus HAM.
Hentikan buzzer yang dibayar untuk menghidupkan kubur 1965 tiap tahun.
Hentikan elit politik yang lebih suka jadi budak narasi asing daripada tuan di negeri sendiri.

Jika kita tolak Soeharto jadi pahlawan,
maka kita sama saja menolak Serangan Umum 1 Maret 1949, menolak swasembada pangan 1984, dan menolak 32 tahun stabilitas yang membuat kita bisa sekolah, makan, dan hidup tenang.

Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto
Pahlawan Penumpas G30S/PKI
Pahlawan Pembangunan Repelita
Murid Jenderal Sudirman yang melanjutkan perjuangan di era berbeda. Dia sudah menjadi pahlawan di hati rakyat, dengan atau tanpa gelar. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui jasa pendahulunya, bukan yang terus mengorek kubur masa lalu untuk bahan dendam dan kebencian.

Salam dua jari dari generasi yang pernah merasakan Indonesia damai, murah sandang panghan, aman dan teratur di bawah bapak bangsa bernama Soeharto.

Sekarang saatnya negara berani mengakuinya.
Sebelum kita benar-benar jadi bangsa yang lupa daratan.

Malika’s Insight – 10 November 2025

Penulis: Pengamat Sosial

No More Posts Available.

No more pages to load.