Oleh : Liana Kurniawan
MEMBUBUNG seketika harapan saya setelah beberapa rangkaian acara yang saya ikuti bersama Bro Ketum Kaesang Pangarep. Pikiran saya memasuki lorong waktu di tahun 674 Masehi tatkala Kalingga mengukir namanya sebagai kerajaan besar tanah Jawa kala itu.
Kerajaan itu digambarkan memiliki kesejahteraan yang dikenal di seantero negeri lantaran keadilan dan hukum yang diterapkan dengan benar.
Nama Ratu Shima menjadi buah bibir bagi arkeolog dan sejarawan karena ketegasannya. Legendanya, meski sebagai putra kesayangan, sang ratu mengganjar hukuman kepada putranya, Pangeran Narayana karena tak sengaja menendang emas di alun-alun kota.
Korelasinya saya melihat jiwa-jiwa yang optimis menatap kesejahteraan untuk rakyat. Wacana Rancangan Undang-undang Perampasan Aset menjadi salah satu opsi yang ditawarkan oleh Bro Ketum. Berkali-kali Mas Bro menggiring wacana agar RUU itu segera diresmikan.
Wacana itu tak saya dengar hanya sekali saja, beberapa kota dimana Bro Ketum singgah, saya berulang kali mendengarkan dengan seksama beberapa ide yang hendak digebyarkan di khalayak rakyat.
Bahkan Bro Ketum mengatakan jika perampasan aset itu bisa diterapkan di internal partai sendiri untuk menunjukkan bukti bahwa partai yang didominasi anak-anak muda itu memberikan dampak signifikan dalam rangka sumbangsih membangun negeri dan semboyan kami ‘PSI milik rakyat’. “Siap ya kalau saya terapkan di internal,” ujar Bro Ketum saat pagelaran Kopdarwil di Surabaya beberapa hari silam.
Maksudnya baik, bahkan terkesan sangat baik. Aroma ketegasan yang ditawarkan kepada para petinggi partai. Dia menggambarkan bahwa partai memiliki andil besar dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Partai adalah milik rakyat, dan PSI adalah milik rakyat.
*) Bendahara DPD PSI Surabaya